Bencana lingkungan dan Etika Politik

lingkungan2Terasa jenuh keseharian masyarakat khususnya kita dengan santapan media televisi atau media cetak yang menyajikan hiruk pikuknya dunia politik yang penuh dengan kebatilan, amat kasar saya ungkapkan tetapi memang itulah fakta realita yang ada. Memang Kejenuhan itu hanya berlaku bagi masyaralat biasa, atau masyarakat yang tidak mempunyai kesadaran kritis dan kaji dalam memahami polemik politik.

Yang menjadi icon tayangan politik tahun ini setelah kehebatran SBY dan Partai demokrratnya yang memanagkan pileg dan pilpres adalah mencuatnya kasus perseturuan dua binatang mamalia Cicak berantem dengan Buaya (KPK Vs POLRI) dan Kejaksaan (mungkin komodo) yang merupakan buah dari kasus bank century dengan para pejabat.

Peristiwa ini menyulut kegelisahan sekligus mempertanyakan kejantanan SBY, betatpapun SBY mempunyai citra hebat karena KPK sebagai kekuatan ekstra eksekutif berhasil memberantas kasus korupsi. Kegelisahan itu tidak cukup, tetapi ada yang lebih penting yaitu persturuan itu tidak tanggung terjadi icon penegak hukum indonesia, seperti Susno Duaji (kabareskrim POLRI), Chandara Hamzah dan bibit samad rianto  (wakil pimpinan KPK), wakil jeksa agung Abdul hakim Rotonga, bahkan dalam salah satu rekaman penyadapan telpon tak tanggung-tanggung Kaplri dan RI disebut namanya.

Komentar dan analisa kritis sudah terlalu banyak dilontarkan para fakar hukum politik dan komunikasi diberbagai event dari mulai seminar, talk show bahkan aksi demonstrasi seperti yang dilakukan oleh HMI, pada tanggal 2 november 2009.

Namun saya lebih menganalisa dari hal yang amat mendasar, yaitu dari faktor etika berlingkungan. Setidaknya ada hal yang ditinggalkan oleh masyarakat dalam mengkaji realita sosial. Terlalu terlena dengan definisi maskhluk sosial, yaitu sebatas etika interaksi sesama manusia, etika saling ketergantungan sesama manusia. Padahal ada yang berpengaruh dalam pola pembentukan etika, yaitu lingkungan (alam). Yang kemudian pola fikir seperti itu disebut antroposentrisme, yaitu manusia adalah pusat dari segala realita sosial.

Antroposentrisme bisa dicegah dengan biosentrisme dan ekosentrisme, yaitu sikap sosial yang menggabungkan tingkah manusia dengan alam. Kita bisa lihat karakteristik masyarakat dayak yang lebih dekat dengan pegunugan sehingga berkarakter keras, atau dengan masyarakat modern yang terpelajar karena berhadapan dengan teknologi, atau dengan masyarkat pedesaaan yang humanis dan feminis karena lebih akrab dengan pertanian.

Dengan kata lain manusia dibentuk oleh dan merealisasasikan dirinya dengan alam. Alam membentuk dirinya sebagaimana dirinya sendiri membentuk alam.

Substansi permasalahannya adalah dari etika, etika manusia mengelola alam, yang akan berimplikasi pada etika mengelola manusia disegala aspek, terutama aspek hukum dan politik.

Namun sikap biosentrisme dan ekologisentrime diindonesia ini tercegal dengan etika barat yang penuh dengan pencerderaan lingkungan dan cenderung bebas, yang memakssa kekayaan alam kita rusak. Sehingga pola kebebasan itulah yang akhirnya membebaskan tingkah manusia dalam berinteraksi tanpa ada etika feminisme yaitu etika penuh kasih sayang, kedaran, tanggung jawab, kepedulian, dan kesetaraan.

Feminisme dalam bersosial adalah nilai budaya semua bangsa, dan fitrah manusia. Sehinga harus ada revitalisasi semangat adat daan kebudayaan, untuk meminimalisir budaya barat yang akan merusak tatanan etika manusia.