Belajar Menjadi Pemimpin

Hakikat manusia adalah untuk menjadi pemimpin, dalam kaidah islam disebut “kholifah fil ardi”. Dalam kajian para cendik islam, makna kepemimpinan manusia terlalu sering dibedah. Hakikat itu nyata menjadi instrument setiap langkah manusia dimanapun bergerak. Seperti dalam bidang pendidikan, bisnis, sosial, budaya dan lainnya. Instrumen kepemimpinan masif dituangkan dengan pelbagai manajemen dan pembagian tugas yang diatur oleh kepemimpinan secara keterwakilan diantara mereka.

Makna pemimpin bagaikan dewa atau malaikat, tidak berlebihan, karena itulah koridornya. Karena kepemimpinan mempunyai nilai yang universal dan mengadopsi nilai-nilai ketuhanan. Pemimpin itu tegas dan bijaksana, menjadi hakim yang adil, seorang perencana dan pengevaluasi, seorang yang baik dan jujur. Itulah nilai ketuhanan, bahkan dalam islam makna tersebut terkandung dalam asmaul husna.

Keindahan nilai-nilai ketuhanan tersebut seolah menjadi suguhan utama dan pertama bagi manusia yang sadar akan eksistensinya sebagai pemimpin. Siapapun berhak dan wajib mengadopsi nilai-nilai agung itu. Tegasnya bahwa nilai-nilai arif tersebut menjadi kewajiban induvidu manusia sang pemimpin, bukan nilai yang harus diwakili pada seseorang yang disimbolkan raja, atau ulil amri.

Kehidupan sosial yang heterogen, adalah fitrah. Berbagai macam ras, aliran, pemikiran bercampur yang dibalut dengan sunatullah. Maka untuk menjaga keutuhan dan menetapkan kesepakatan sosial untuk mengatasi pelbagai prustasi sosial, nilai-nilain ketuhanan itulah yang akan menjadi hakimnya.

Karena manusia itu bukanlah dewa apalagi tuhan, secara otomatis mempunyai syahwat sesuai dengan dunianya. Hal itu wajar, demi mewujudkan impian ilahiahnya untuk masyarakat. Hal ini yang menjadi fokus utama dalam masalah berkehidupan sosial hari ini, mengingat pemimpin yang sering kali tak wajar bertindak. Sesalah apapun, mereka tetap mengantongi nilai-nilai ketuhanan, ” kami akan jujur, kami akan ikhlas, kami akan bersumpah…. dan sebagainya”. Kita patut mengapresiasi meski pada tataran verbal. Dan pada tataran manifestasi, kitalah yang terus mengajarkan dan mengawasinya tentu dengan saling mengisi kewajiban dengan nilai-nilai kepemimpinan yang diberikan tuhan yang maha esa.

Tinggalkan komentar